Ada tiga kejadian istimewa yang muncul secara berkesinambungan pada hari Jumat ini. Semuanya insya Allah akan membawa dampak positif (khususnya) buat diri gue pribadi.
Yang pertama, ada kampus cuy!
Dimulai sekitar jam 9 pagi, full sampai jam 5 sore. Tentu aja ada istirahat. Kalau nggak, bisa didemo abis-abisan tuh dosen. Cukup seru juga. Hari ini kita membahas sebuah Sozialkompetenz (soft skills) tentang project management. Mulai dari membahas apa itu proyek. Bagaimana merancang sebuah proyek. Seperti apa caranya memimpin sebuah proyek dengan baik. Hal-hal apa saja yang harus diperhatikan demi kelancaran jalannya sebuah proyek, dll.
Gak seperti kegiatan perkuliahan biasanya. Pelajaran hari ini dihiasi oleh games-games seru. Kita ditugaskan merancang dan membangun sebuah gedung dari lego.
“Ya anak-anak. Hari ini kita bermain menyusun balok…!“
“Yee….!”
Itu suasana kampus berasa udah kayak taman kanak-kanak. Tua, muda, gendut, kurus, cewek, cowok, cakep, jelek asyik bermain. Gak cuma bermain ternyata. Beberapa orang tampak cukup serius dalam mengerjakan tugas mendirikan ‘bangunan‘ ini.
Ada yang ngebuat pakai perbandingan skala, detail banget perhitungannya. Buset, serius amat om!
Ada lagi yang ngebuat pakai teori feng shui. Padahal, pas ditanya dia gak benar-benar tahu apa itu feng shui. Ngarang aje nih orang!
Asyik. Asyik banget malah. Coba kalau tiap Vorlesung (kegiatan belajar di perkuliahan) begini terus. Tambah betah nih para mahasiswa yang sedang stres dilanda tugas-tugas yang tak kunjung habisnya buat masuk kuliah.
Lalu yang kedua, rancangan novel gue udah jadi!
Ya, selama lebih kurang 10 hari terakhir gue berkutat untuk mencoba menulis sebuah novel bergenre dikit-dikit roman lah. Gue mencoba untuk membuat sebuah cerita versi panjang dari postingan Rizaldy dan Cerita Cinta Seorang Lelaki.
Alhamdulillah lancar. Walau terkadang harus begadang juga sampai jam 3 pagi! Tapi ora opo-opo lah.
Kebetulan ada kenalan di Berlin yang bersedia untuk melihat-lihat isi novel. Beliau menawarkan diri untuk membaca dan mengedit tulisan novel pertama gue. Terima kasih Mbak atas bantuannya. Lumayan, dapat bantuan mengedit hehehe…
Lalu, yang terakhir adalah… *jeng jeng jeng jeng*
Kejadian “iya, ya…”
What is the meaning of that?
Begini ceritanya. Di sebuah rumah makan di Berlin, tanpa sengaja gue bertemu seorang teman. Sekalian temu kangen karena udah lama tak saling jumpa, kami pun memutuskan untuk makan bersama. Romantis ya hahahaha…
Sambil makan, banyak hal menjadi bahan cerita kami. Termasuk kesibukan masing-masing saat ini.
Panjang lebar gue menceritakan kepada si Anu (sebut saja namanya Anu demi melindungi privasi) tentang bagaimana stresnya gue menghadapi perkuliahan sekarang. Bagaimana susahnya berkuliah di jurusan Wirtschaftsinformatik (business computing) semester 3. Banyak yang bilang kalau masa-masa kritis mahasiswa di Jerman itu adalah semester 3.
Kenapa?
Usut punya usut biar gak kusut, di semester 3 lah semua pelajaran mulai menunjukkan taringnya. Bukan lagi sekedar teori-teori belaka yang bisa dihafal mati. Tapi sudah terjun langsung ke rancah perpraktekan. Jadi, mahasiswa yang kuliah karena sekedar ikut-ikutan atau betul-betul suka pelajarannya akan mulai kelihatan satu persatu.
Dari beberapa postingan sebelumnya, gue sudah menjelaskan bahwa sebenarnya gue (akhirnya merasa) kurang suka dengan jurusan Wirtschaftsinformatik. Entah, tak kuasa diriku menahan beban ini kalaulah tiada Tuhan dan kawan disisi.
Sebagai obat pengusir stres, kegiatan menulislah yang gue suka lakukan hampir tiap hari. Dari menulis blog sampai menulis novel. Gue menjelaskan ke teman gue panjang lebar, tentang bagaimana nikmatnya gue menjalani kegiatan yang terdapat passion di dalamnya.
Teman : Kalau emang lo suka nulis, kenapa lo kuliah jurusan yang berbau informatik?
Gue : Iya, ya…
Teman : Pengen nerusin kuliah sampai S2 gak? Tanggung lho, udah nyampe Jerman.
Gue : Iya, ya…
Teman : Nanti kalau udah selesai kuliah, lo mau berkiprah di mana? Di bidang perinformatikan atau bidang tulis-menulis?
Gue : Wah, kayaknya cukup deh dengan segala bau-bau perinformatikan. Gue pengen berkiprah di dunia tulis-menulis.
Teman : Kenapa lo gak menerapkan ilmu yang sesuai dengan latar belakang lo?
Gue : Iya, ya…
Teman : Rugi dong. Capek-capek belajar, eh gak dipraktekan di dunia nyata. Sia-sia kan tuh namanya?
Gue : Iya, ya…
…
Gue pun memikirkan pertanyaan-pertanyaan dahsyat yang terlontar dari mulutnya. Memang itu sekedar pertanyaan klise. Tapi kalau kita sendiri gak bisa menjawabnya, jelas akan membuat kita semakin ‘terjerumus‘. Semua orang pasti bakal berpikiran sama. Teman, saudara, bahkan orang tua.
Iya, ya… Apa gue udah ngelakuin kesalahan fatal dikehidupan fana ini?
Setelah berpikir kesana-kemari (padahal gak kemana-mana, orang lagi duduk manis sambil makan), gue bisa berkata…
Tidak!
Gue gak ngelakuin kesalahan fatal. Semuanya masih bisa menjadi baik.
“Kalau emang suka nulis, kenapa kuliah jurusan business computing?“
Gue juga suka kok mempelajari hal-hal yang berbau business. Selain menjadi penulis, di dunia bisnis lah gue menemukan hasrat. Jadi, gak melenceng-melenceng amat lah.
“Pengen nerusin kuliah sampai S2 gak? Tanggung lho, udah nyampe Jerman.”
Terus terang, sampai saat ini keinginan untuk meneruskan jenjang pendidikan ke tingkat magister belum terpikirkan sama sekali. Kalau merasa sudah cukup dengan ilmu dari program bachelor, kenapa tidak langsung terjun ke lapangan? Bukan berarti sudah merasa hebat dengan ilmu yang ada. Hanya saja, dunia praktek dan dunia teori itu jelas jauh berbeda. Terlebih lagi untuk bisnis. Gue berniat untuk membuka sebuah usaha yang insya Allah sudah mulai dirintis dari sekarang. Mencoba untuk menerapkan ilmu yang didapat dari bangku sekolah, sekaligus mencoba untuk mempelajari ilmu ‘jalanan‘, dengan melihat realita sekitar.
“Yakin bisa buka usaha kalau cuma lulusan S1?”
Kenapa tidak! Toh gak ada aturan baku ‘Lulusan S1 dilarang membuka usaha’. Apakah seorang yang hanya lulusan S1 tidak bisa membuka usaha? Lebih dari itu, apakah seseorang yang masih berkuliah, belum punya gelar bachelor, tidak bisa memulai usaha? Iya, ya… Kenapa tidak!
“Kenapa lo gak menerapkan ilmu yang sesuai dengan latar belakang lo? Padahal lo kuliah di jurusan yang ada informatiknya. Kenapa tulis menulis? Gak nyambung kan.”
Kenapa tidak! Apakah tidak boleh seorang dengan latar belakang pendidikan business computing mencurahkan ide dan pikirannya menjadi sebuah karya tulis untuk disebarluaskan? Justru dari sana, gue pengen membuktikan kalau seorang dengan latar belakang perinformatikan pun juga bisa berkarya di bidang sastra. Iya, ya… kenapa tidak!
“Rugi dong. Capek-capek belajar, eh gak dipraktekin di dunia nyata. Sia-sia kan tuh namanya?”
Tidak juga! Apa sebenarnya yang kita cari di dunia perkuliahan? Teori-teori keluaran ilmuwan ternama? Mendapatkan nilai bagus, selalu dapat A di setiap ujian? Atau yang lain?
Sayang banget kalau kita sebagai mahasiswa hanya menyerap dan mempelajari ilmu-ilmu yang sudah tertulis di buku-buku literatur pendidikan. Sebenarnya, esensi dari perkuliahan lebih dari itu semua. Apalagi bagi para mahasiswa yang sedang menempuh perkuliahan di luar negeri. Toh gak jauh beda kurikulum di Indonesia dan di Jerman.
Tapi apa yang dicari?
Pengalamannya. Kemampuan berupa soft skills nya lah yang seharusnya juga dipelajari seorang mahasiswa disaat mengenyam bangku pendidikan. Bagaimana caranya berkomunikasi dengan dosen dan teman sejawat. Bagaimana caranya menyampaikan pendapat dan sanggahan dengan baik. Bagaimana cara mempromosikan sesuatu, meyakinkan orang lain dengan presentasi di depan khalayak ramai. Bagaimana mengelola konflik di dalam sebuah kelompok. Bahkan, bagaimana rasanya bekerja dengan orang-orang asing di dalam sebuah kantor atau industri. Kemampuan-kemapuan seperti inilah yang seharusnya juga patut dipelajari dan didapatkan. Ketika nanti kita terjun ke dunia kerja, sudah banyak bukti terpapar bahwa hanya sedikit sekali persentase dari ilmu akademis yang dipraktekkan. Malahan, banyak juga orang-orang yang bekerja melakukan sesuatu yang jelas-jelas bertolak belakang dengan latar belakang program sarjana, magister atau bahkan program doktor mereka.
Iya, ya…
0 comments:
Post a Comment