Friday, October 14, 2011

Rizaldy dan Kuliah di Jerman

Bagi kebanyakan orang, masa SMA bisa dibilang sebagai salah satu masa kritis di dalam kehidupan. Segala keputusan yang kita buat seolah mempengaruhi pandangan kita akan masa depan. Kita 'dipaksa' untuk melihat mau jadi apa nanti, benar-benar berpikir tentang perencanaan serta eksekusi untuk merintis jalan menuju cita-cita dan harapan. Harapan indah yang mau membuat manusia untuk berjuang, terus berjuang dan berdoa demi kehidupan yang lebih baik kelak. Penempatan kelas saat memasuki tahun kedua masa SMA seolah 'membantu' siswanya untuk memilih jalan hidup yang ingin dilakoninya.

Walaupun mungkin tidak melulu harus seperti itu. Pada kenyataannya, para pelajar yang keburu 'kecemplung' di sebuah kolam dapat keluar dan memasuki kolam yang satunya, kolam yang terisi air dengan suhu yang benar-benar berbeda. Hal itu wajar, malah sangat wajar. Benar kata orang-orang yang sudah pernah merasakan fase itu sebelumnya “Sekarang jalani aja dulu apa yang harus kamu jalani. Kalo ada kegiatan ya diikuti aja, siapa tau dari sana kamu bisa tau apa maunya kamu.”

Pada posting sebelumnya, gue udah berbagi soal bagaimana gue menentukan cita-cita. Diputuskanlah bidang ekonomi ditambah bidang yang berhubungan dengan interaksi dengan orang banyak untuk gue tekunin.

Seorang pebisnis yes! Seorang penulis juga yes!

Lho, kok masih plin-plan? Pebisnis atau penulis nih? Pebisnis yang juga seorang penulis boleh dong hehehe…

Alhamdulillah dengan masuknya seorang Rizaldy ke dalam sebuah kelas sosial (baca IPS) membuat gue semakin yakin dan fokus untuk menekuni bidang itu. Kutau yang kumau. Demi mewujudkan cita-cita nan (insyaallah) mulia itu, gue memutuskan untuk kuliah di jurusan bisnis, manajemen atau ilmu ekonomi, sambil coba-coba untuk menulis di blog sendiri untuk melatih kemampuan menulis (alhamdulillah kesampean juga). 

Gue ngelirik beberapa kampus negeri di Indonesia yang memiliki fakultas ekonomi. UI, ITB, UGM, Unpad, kayaknya semua universitas negeri se Indonesia punya deh. Gue lebih memilih UI, karena UI adalah salah satu kampus terbesar dan terbaik di Indonesia dengan reputasinya yang udah gak diragukan lagi. Alasan berikutnya adalah jarak. Gue males untuk jauh-jauh dari Jakarta. Kalo gue keterima di UI fakultas ekonomi (mau manajemen atau ilmu ekonomi), itu kan cuma ke Depok. Mau tiap hari naik kereta atau mau nge kost di sana, liat nanti lah.

Untuk mengantisipasi kalo-kalo gue gagal masuk UI, gue juga melirik beberapa kampus swasta  di Jakarta, tetep yang harus ada fakultas ekonominya. Ada Trisakti, Binus, GICI Business School atau PPM Manajemen. Oke, pilihannya udah cukup lah, udah banyak itu. Kebanyakan malah. Setelah bersemedi empat puluh hari empat puluh malam di atas Gunung Merapi (mau ngilmu kali), gue memilih untuk nantinya mendaftar ke UI, Binus dan GICI Business School. Mendukung keputusan itu, orang tua mendaftarkan gue ke sebuah bimbel (bimbingan belajar) di daerah Talang, tepat di sebelah SMA N 68 Jakarta, yaitu KSM. Alasannya karena KSM itu emang bagus program bimbel nya dan lagi-lagi jarak, secara lokasinya pas banget di sebelah Kompleks Pendidikan Salemba Raya. Dengan mengambil program satu tahun plus intensif persiapan SNMPTN (baca aja senam PTN kalo ribet), Rizaldy Dewan Damara pun terdaftar.

Gue bener-bener menikmati proses pembelajaran itu karena ya emang gue mau dan gue tau proses itu membantu gue meraih cita-cita yang diimpikan. Bener lho, sudah terbukti, kalo lo ngejalanin segala sesuatu yang lo mau, pasti rasanya bakalan enak deh. Lo bakal nikmatin segala prosesnya. Gue gak bilang santai, tapi walaupun proses itu berat lo bakal dengan senang hati dan menikmati jalan itu.

Gak pernah terbesit sama sekali untuk keluar Jakarta. Sampai kira-kira awal bulan Januari 2008, salah satu agen pengiriman siswa untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri menelepon rumah kakek (fyi, sejak kelas 3 SMP gue udah pindah ke Jakarta, ikut dengan kakek nenek dan harus berpisah dengan orang tua dan adik yang masih bertugas di Sumatera Barat karena alasan pendidikan. Papa percaya kalo anaknya bisa dapet kesempatan pendidikan yang lebih baik lagi dengan pindah ke Jakarta. I love you and so proud of you papa). Kebetulan juga papa lagi ada di rumah kakek selama lebih kurang satu minggu. Setelah dijelaskan soal kuliah di luar negeri, papa langsung mengajak gue pergi ke kantor pusatnya yang terletak di daerah Thamrin, Jakarta. Disana kami diberikan presentasi tentang kuliah di Jerman, kehidupan di Jerman plus perincian biaya hidup.

Kayaknya oke juga nih kuliah di Jerman. Gak ngarep-ngarep banget sih, kalo ada kesempatan syukur kalo gak ya ndak apa-apa.

Sesampainya di rumah, seolah gayung bersambut papa nawarin buat kuliah ke Jerman. “Yang bener pa?” Antara gak percaya dan seneng, gw nanya balik “Papa bener ngijinin Dicky kuliah di Jerman? Masalah biaya hidupnya gimana pa, kan gak murah?” Dengan pancaran wibawa sosok seorang ayah dari senyumnya, papa menjawab “Kamu gak usah pikirin soal biaya, itu urusan papa nanti.”

Alhamdulillah ya Allah, hamba memiliki seorang ayah yang sangat baik, bertanggung jawab dan mau berjuang untuk kecerahan masa depan putra-putrinya yang sangat ia cintai dan banggakan. Berikanlah selalu kekuatan, kesehatan, kesabaran dan pertolonganmu kepada papa hamba. Berikanlah ia selalu rezeki yang melimpah dan berkah untuk menghidupi keluarganya, bimbinglah ia untuk selalu berada di jalan-Mu yang lurus. Kabulkanlah doa hamba, hanya kepada Engkau lah hamba meminta dan memohon dengan segala kerendahan hati, wahai Engkau Rabb yang Maha Perkasa, Maha Kuasa, Maha Tinggi, Maha Kaya, Maha Agung. Amin ya Rabb.

Mulai hari itu gue merubah segala rencana untuk kuliah di salah satu universitas di Jakarta. Pandangan gue udah fokus ke Jerman, Jerman dan Jerman. Jujur sampai sekarang gue juga bingung kalo ada yang nanya “Kenapa loe kuliah ke Jerman sih? Kayak di Indo gak ada kampus bagus aja.“ Mungkin Tuhan mendengar dan mengabulkan doa polos seorang anak kecil yang berumur tujuh tahun dulu. Kelas dua SD, gue pernah menjawab mau kuliah ke Jerman ketika seorang guru bertanya kemana gue akan meneruskan pendidikan nanti. Entah kenapa kata Jerman langsung muncul dan terceplos gitu aja.

Misteri Ilahi emang gak ada yang tau ya. Hari ini kita bisa begini, mendadak semuanya bisa berubah menjadi begitu. Bukan itu sebenarnya yang menjadi masalah kita, tapi bagaimana kita mensyukuri nikmat yang Tuhan berikan dengan seoptimal mungkin. Kalau kita mensyukuri nikmat Tuhan, maka yakinlah apapun yang kita lakukan Tuhan akan selalu bersama kita. Jalani dan berdoa.

Kenapa gue kuliah di Jerman ? Alhamdulillah sudah rejekinya…  

3 comments:

Anonymous said...

Hahah. Zal, first time i visit your blog. Udah dari kapan lo bikin blog ini btw? Gue juga ngga tau kenapa lagi mulai lagi nulis blog meski kontennya cuma nyampah". mwahahah. gue akan mampir"lagi. semoga lo juga berkenan mampir ke gue yah ;)

Rizaldy Dewan Damara said...

Thank you, baru bikin nih sekitar 2 atau 3 hari yang lalu. Sip, nanti gw mampir.
Jangan lupa balik lagi ya otty, posting-posting baru akan segera menyusul hehehe... :D

tika said...
This comment has been removed by the author.

Post a Comment