Greeting all!
Pada posting kali ini gue akan berbagi kisah seorang kawan. Semoga cerita ini bisa menjadi inspirasi buat kita semua dalam bertindak dewasa di kehidupan sehari-hari. Nama pelaku disamarkan dan gue udah minta izin untuk mempublikasikan kisahnya. Begini ceritanya *jeng jeng jeng jeng*
Selasa, tanggal 15 Mei 2012 kemaren, gue dan (sebut saja namanya) Fulan menghadiri perkuliahan di kampus tercinta di belahan timur Jerman. Kebetulan, kita mengambil satu mata kuliah pilihan yang sama. Ceritanya nih, hari itu ada yang spesial. Dosen kampus ditemani oleh seorang dosen tamu dari sebuah perusahaan di Berlin yang datang dan ingin berbagi ilmu seputar pemilu online. Wah ide bagus tuh ya, seandainya sistem ini bisa dikembangkan di Indonesia, tentu para pemilih gak direpotkan lagi dengan segala keruwetan administrasi persyaratan pemilih. Mau milih aja kok repot...
Selama satu jam penuh, orang itu berkoar-koar seputar teknologi yang memungkinkan pemilu secara online. Menarik sih, tapi karena waktu itu jam dua siang dan kondisi perut sedang kenyang, yah harus diakui kalau mata sayup-sayup menutup juga hehehe...
Selesai dengan sesi presentasi dan tanya jawab, dosen tamu ini serta merta mengeluarkan sebuah tas dari kantong ajaibnya (lho, dosen apa doraemon??). Dari dalam tas kulitnya, ia mengambil puluhan pulpen, puluhan buku, dan puluhan selebaran untuk dibagikan. (Tuh kan, doi masih sodara ama doraemon. Barang segitu banyaknya, muat di "kantong ajaib".)
Lantas kami pun secara bergiliran mengambil sendiri hadiah dari bapak yang arif nan budiman itu. Tibalah giliran si Fulan mengambil cinderamata. Melihat banyaknya jumlah barang yang tersedia di depan mata (ditambah lagi omongan si bapak dosen kalau semuanya harus habis), tanpa sungkan-sungkan dia membabat pulpen-pulpen gratisan. Namanya juga mahasiswa perantauan, dapet gratisan mah seneng-seneng ajah.
And pelajaran pun berakhir. Tepat ketika beranjak dan ingin memasukkan laptop kesayangannya ke dalam ransel, mata si Fulan langsung tertuju (lagi) lurus ke arah tumpukan pulpen gratisan yang masih numpuk puk puk...
"Wah, lumayan nih. Ambil lagi ah...!"
Spontan tangannya langsung menyambar pulpen dengan garang dan beringas (lebay sih ini). Hebatnya, setelah pulpen gratisan itu masuk (lagi) ke dalam tasnya, laptop tercintanya sendiri malah lupa dimasukin.
Dia baru sadar pas sampai di rumah, dan langsung menelepon gue serta bilang kalau laptopnya ketinggalan. Beruntung ada teman (sekampus juga) yang menyarankan untuk menghubungi dosen kampus yang mendampingi sang dosen tamu tadi.
Alhamdulillah saudara-saudara, beliau berbaik hati mau kembali lagi ke dalam kelas demi mengambil sebuah laptop bersejarah itu. Si Fulan bisa menjemput laptopnya di ruangan dosen esok pagi. Case closed.
Tuh benar kan, serakah itu gawat jek! Bayangin aja, dapat pulpen tapi berpotensi kehilangan laptop.
Coba deh, sama-sama kita pikirin apa jadinya kalo serakah itu selalu kita lakukan tiap hari. Kerugian-kerugian apa lagi yang bakal kita rasakan? Masih mending kalau yang rugi cuma kita. Nah kalau orang lain juga kena getahnya? Seperti yang sekarang sedang marak-maraknya di negara kita tuh (*ehem* sedikit nyindir nih ceritanya). Keserakahan yang demikian tamaknya sampai menghalalkan segala cara demi kesenangan pribadi nan sesaat. Gila, tobat!! Tobat!!
So guys, beware of this kind of penyakit hati. Betul kalau serakah membawa kenikmatan. Hanya saja, rasa nikmat itu kelak membawa duka dan luka. Baik untuk kita maupun sesama.
Serakah akan harta. Serakah akan tahta. Serakah akan kuasa. Lantas, siapkah Anda serakah akan dosa?
Kebuasan demi kepuasan. Demikian kunci kebahagiaan?
0 comments:
Post a Comment